tours
WhatsApp Image 2025-07-16 at 11.57.32_1087950a
previous arrow
next arrow

Sigmaphi: Menkeu Salah Obat, Ekonomi Rakyat Tetap Sakit

Jelajahnusantara.co.id| Jakarta – Pemerintah kembali bermain-main dengan jurus lama yang usang. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank pelat merah (Himbara). Dalihnya? Untuk mempercepat kredit dan menggerakkan ekonomi.

Namun, Direktur Eksekutif Sigmaphi Indonesia, Muhammad Islam, justru menyebut langkah ini sebagai kebijakan salah alamat. Menurutnya, akar persoalan bukan di likuiditas, melainkan di demand, permintaan kredit yang lesu karena daya beli rakyat makin ambruk.

“Persoalannya bukan keringnya likuiditas di pasar keuangan, tapi lemahnya prospek penjualan domestik dan daya beli masyarakat. Jadi, menambah likuiditas perbankan tidak otomatis mendorong kredit,” tegas Islam, Jumat (12/9/2025).

OJK mencatat per Juni 2025, loan to deposit ratio (LDR) perbankan justru turun ke 86,5% dari bulan sebelumnya 88,3%. Artinya, bank masih punya ruang lebar menyalurkan pinjaman. Masalahnya, siapa yang mau pinjam kalau rakyat tak mampu belanja dan pengusaha melihat pasar suram?

Islam pun menohok keras, Rp200 triliun itu hanya setara 4,73% dari DPK Himbara, atau 2,14% dari total DPK nasional. Angka yang terlalu kecil untuk disebut “stimulus,” dan berisiko hanya jadi parkiran dana di Surat Berharga Negara (SBN) demi menambal APBN, bukan mengalir ke sektor riil.

Islam mendesak pemerintah jujur soal motif sebenarnya. Kalau untuk membiayai APBN, gunakan mekanisme resmi melalui Saldo Anggaran Lebih (SAL) atau SiLPA lewat persetujuan DPR. Jangan berputar-putar lewat perbankan yang hanya memperbesar cost of fund negara.

“Kalau hanya jadi strategi memutar uang negara di saku sendiri, maka ini sekadar memindahkan beban, bukan solusi,” kritiknya.

Purbaya seolah masih mengimani dogma klasik supply creates its own demand. Padahal, teori itu rontok di hadapan kenyataan. Menambah likuiditas tak serta-merta mencetak permintaan baru. Dunia usaha hanya berani berhutang jika penjualan prospektif. Sementara itu, rakyat sudah dicekik oleh inflasi pangan, ongkos hidup, dan ketidakpastian kerja.

Alih-alih menggerakkan ekonomi rakyat, kebijakan ini rawan memperdalam jurang: bank makin gemuk, negara menanggung ongkos, rakyat tetap lapar.

Kebijakan Purbaya layak ditelanjangi,ini bukan solusi struktural, melainkan kosmetik ekonomi yang penuh risiko. Yang dibutuhkan rakyat bukan Rp200 triliun parkir di bank, tapi jaminan daya beli, pekerjaan layak, dan keberanian negara melawan oligarki ekonomi.(sang)

Penulis: SangEditor: JNAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *