tours
WhatsApp Image 2025-07-16 at 11.57.32_1087950a
previous arrow
next arrow

Bangsa yang Meninggalkan Sawah Berarti Meninggalkan Jati Diri

Jelajahnusantara.co.id| Jakarta, 24 September 2025 – Digitalisasi memang niscaya, tetapi kebangkitan Nusantara tidak akan pernah lahir bila sawah-sawah berguguran digantikan gedung beton dan server dingin. Di Hari Tani Nasional ini, pesan Bung Karno kembali terasa relevan: “Hidup matinya sebuah negara ada di tangan sektor pertanian negeri tersebut.”

Pangan bukan sekadar kebutuhan perut, melainkan akar budaya dan simbol kedaulatan. Dari beras, sagu, hingga jagung setiap butirnya adalah cerita panjang peradaban Nusantara. Namun, ironisnya, ketika digitalisasi dipuja, kemandirian pangan justru kian tergadaikan.

“Bangsa yang meninggalkan sawah berarti meninggalkan jati dirinya. Tanpa pangan lokal, Nusantara hanya akan menjadi pasar bagi produk asing,” tegas Sang Nusa, pengamat politik dan budaya 24 September 2025.

Digitalisasi tak mungkin berjalan tanpa energi. Tetapi bila sumbernya masih berbasis fosil dan impor, yang lahir hanyalah ketergantungan baru. Energi hijau, surya, angin, panas bumi seharusnya menjadi pilihan utama.

“Jika server berdiri di atas energi kotor, digitalisasi hanya akan melahirkan kolonialisme gaya baru,” tambah Sang Nusa.

Era digital menawarkan efisiensi melalui AI, blockchain, hingga big data tak ada artinya bila tercerabut dari kearifan lokal. Tanpa nilai gotong royong dan penghormatan pada alam, teknologi hanya menjadi instrumen kapital global.

Keadilan yang berdaulat menuntut modernisasi yang berpihak, membangun energi hijau, menjaga sawah, dan memastikan rakyat tidak menjadi korban pasar bebas. Nusantara harus berani mengambil jalan berbeda modern, tetapi berakar pada tanah dan budaya sendiri.

Sesuai data Krisis Pangan dan Energi Nusantara sebagai berikut:

100 ribu hektar sawah hilang tiap tahun karena alih fungsi lahan.

3 juta ton beras diimpor tahun 2024 untuk menutup defisit pangan.

Pemanfaatan energi terbarukan baru 13%, jauh dari target 23% pada 2025.sebagai berikut:

Tanggal 24 September 1960, Presiden Soekarno menetapkan UU Pokok Agraria (UU PA 1960) yang menjadi dasar keadilan agraria di Indonesia. Sejak itu, setiap 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional.

Bung Karno pernah mengingatkan: “Hidup matinya sebuah Negara, ada di tangan sektor pertanian Negeri tersebut.”

Kebangkitan Nusantara tidak berarti menolak modernisasi. Justru, digitalisasi harus berjalan seiring dengan kedaulatan pangan, energi bersih, dan budaya. Itulah jalan menuju keadilan yang berdaulat landasan sejati bagi Nusantara modern.

Selamat Hari Tani Nasional.

Ribuan server bisa kita bangun, tetapi tanpa sawah, yang lahir bukan kebangkitan melainkan kehancuran perlahan.(sang)

Penulis: SangEditor: JNAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *