Jelajahnusantara.co.id| Jakarta – Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026 bukan sekadar catatan angka fiskal. Ia telah menjelma sebagai cermin orientasi politik luar negeri Indonesia di tengah dunia yang semakin disandera ketegangan geopolitik.
Dari peningkatan belanja pertahanan, cadangan energi, hingga kedaulatan pangan, pemerintah mengirim sinyal bahwa APBN bukan lagi sekadar “alat domestik”, melainkan juga senjata politik di meja internasional.
Menteri Keuangan menegaskan, RAPBN 2026 dirancang untuk menjawab tantangan geopolitik global, mulai dari perang dagang, krisis rantai pasok, hingga konflik Laut Cina Selatan yang mengancam jalur perdagangan vital Indonesia.
“APBN kita bukan sekadar instrumen ekonomi, tapi juga benteng kedaulatan. Kenaikan belanja pertahanan, cadangan energi, serta diplomasi internasional diarahkan agar Indonesia tidak menjadi korban rivalitas global,” ujar pejabat Kemenkeu dalam rapat dengan DPR.
Kesepakatan eksekutif dan legislatif kian jelas saat Badan Anggaran (Banggar) DPR mengesahkan postur terbaru RAPBN 2026 dalam rapat kerja, Kamis (18/9/2025).
Ketua Banggar DPR Said Abdullah bertanya, “Apakah yang kami sampaikan terhadap postur terbaru inir dapat disetujui?” seluruh anggota rapat, bersama Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Gubernur BI Perry Warjiyo, hingga perwakilan Bappenas menjawab kompak: “Setuju.”
Sinergi ini memperlihatkan bagaimana pemerintah dan DPR berdiri dalam satu barisan geopolitik. Namun, bagi kalangan kritis, DPR yang seharusnya menjadi penyeimbang justru tampak seperti perpanjangan tangan eksekutif, tanpa perdebatan fundamental soal keberpihakan APBN kepada rakyat.
Hasil rapat Banggar menetapkan postur terbaru RAPBN 2026 sebagai berikut:
– Belanja negara naik dari Rp 3.786,49 triliun menjadi Rp 3.842,72 triliun.
– Belanja pemerintah pusat: Rp 3.149,7 triliun (naik dari Rp 3.136,5 triliun).
– Transfer ke daerah (TKD): Rp 692,995 triliun (naik dari Rp 649,995 triliun).
– Pendapatan negara bertambah dari Rp 3.147,7 triliun menjadi Rp 3.153,6 triliun.
– Penerimaan perpajakan: Rp 2.693,7 triliun (naik tipis).
– PNBP: Rp 459,2 triliun (naik dari Rp 455 triliun).
– Hibah: tetap Rp 663 miliar.
Defisit anggaran melebar dari Rp 638,8 triliun (2,48% PDB) menjadi Rp 689,1 triliun (2,68% PDB).
Dengan kata lain, defisit semakin dalam, tapi arah geopolitik semakin jelas, membiayai pertahanan, energi, dan diplomasi.
Fredi Moses Ulemlem, pengamat hukum dan politik, menilai RAPBN 2026 adalah bukti konkret bagaimana negara mengubah instrumen ekonomi menjadi instrumen politik luar negeri.
“Secara ilmiah, kita bisa melihat RAPBN kini berfungsi sebagai instrumen geopolitik. Kenaikan belanja pertahanan dan energi adalah upaya membangun kemandirian strategis. Indonesia sedang memosisikan diri sebagai middle power, menjalankan politik luar negeri bebas aktif tapi dengan daya tawar yang lebih keras,” ujarnya.
Menurut Fredi, RAPBN ini mencerminkan pergeseran paradigma dari sekadar menjaga stabilitas fiskal menjadi strategi mempertahankan kedaulatan. Ia mengingatkan, teori middle power menekankan pentingnya kombinasi hard power (militer dan energi) serta soft power (diplomasi). RAPBN 2026, katanya, adalah implementasi nyata dari teori itu.
Namun, lonjakan belanja pertahanan berpotensi menggerus ruang fiskal bagi pendidikan dan kesehatan. Kritik muncul, apakah rakyat kembali harus dikorbankan demi agenda geopolitik negara?
Pemerintah berdalih tanpa kedaulatan, pembangunan sosial-ekonomi akan rapuh. Tetapi bagi jurnalis kiri, argumen ini hanya menegaskan kontradiksi lama, rakyat diminta bersabar, sementara elite bernegosiasi dengan logika geopolitik dan sinergi politik.
RAPBN 2026 pada akhirnya bukan sekadar soal defisit dan target pertumbuhan. Ia adalah deklarasi politik: Indonesia menolak jadi pion dalam rivalitas global. Sinergi eksekutif dan legislatif memperlihatkan satu suara negara, tapi rakyat masih bertanya, apakah triliunan rupiah anggaran itu akan kembali ke dapur mereka, atau hanya berhenti di meja diplomasi internasional? (JNAS).









