tours
WhatsApp Image 2025-07-16 at 11.57.32_1087950a
previous arrow
next arrow

Keadilan yang Cacat: Kasus Kompol Cosmas, Siapa Sebenarnya yang Bersalah?

Jelajahnusantara.co.id| Jakarta – Kasus pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Cosmas membuka luka lama tentang wajah keadilan di tubuh kepolisian. Pertanyaan yang muncul di ruang publik sangat mendasar, apa sebenarnya kesalahan Kompol Cosmas? Apakah benar ia pantas menanggung vonis seberat itu, sementara banyak kasus lain yang jauh lebih memalukan justru ditutup rapat?

Dalam ilmu hukum pidana, sebuah perbuatan pidana hanya bisa dipertanggungjawabkan apabila terdapat mens rea niat batin atau pikiran bersalah pelaku. Fredi Moses Ulemlem dengan tegas menyatakan:

“Kompol Cosmas dan rekan-rekannya jelas tidak dalam posisi dolus (sengaja) maupun culpa (lalai). Bagaimana mungkin kita menuntut pertanggungjawaban pidana jika niat bersalah saja tidak terbukti?”

Kenyataannya, tindakan yang dilakukan Cosmas justru berada dalam kerangka pelaksanaan perintah kedinasan. Pasal 50 KUHP secara terang mengatur bahwa tindakan yang dilakukan atas dasar undang-undang tidak bisa dipidana.

Lebih jauh, Fredi menyoroti aspek overmacht atau keadaan terpaksa. Dalam hukum pidana, overmacht bisa menjadi alasan pemaaf yang membebaskan seseorang dari pertanggungjawaban hukum. Namun, mengapa dalam kasus Cosmas justru ini diabaikan?

“Overmacht harusnya jadi bahan pertimbangan hakim. Ironis ketika justru Cosmas yang dihukum berat, sementara rekan-rekannya lolos dari jeratan. Di mana letak keadilan?” tambah Fredi.

Ironi semakin jelas ketika publik membandingkan kasus ini dengan banyak anggota polisi lain yang terbukti menggunakan narkoba, yang jelas-jelas menurunkan citra Polri. Mengapa hukuman mereka berbeda?

“Kalau memang alasan PTDH adalah karena memalukan institusi, maka mari konsisten. Apakah Cosmas lebih memalukan daripada aparat yang kedapatan pakai narkoba?” kata Fredi.

Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan sudah sangat jelas mengatur tahapan proporsional dalam tindakan kepolisiandari pencegahan hingga penggunaan senjata api. Seharusnya, anggota yang menjalankan prosedur sesuai Perkap berhak mendapatkan perlindungan hukum, bukan dikorbankan demi pencitraan institusi.

Kasus ini mengirimkan pesan kelam keadilan di tubuh Polri sedang mati suri. Bukan hanya publik yang kehilangan kepercayaan, tapi juga para anggota polisi sendiri yang kini bertanya tanya, siapa yang akan melindungi mereka saat menjalankan tugas, jika justru institusi sendirilah yang mengorbankan mereka?

“Pencitraan pimpinan jangan menari di atas air mata dan darah anggotanya sendiri. Kalau institusi ini terus begini, jangan salahkan rakyat ketika kepercayaan pada Polri runtuh.” tutup Fredi moses.(sang)

Penulis: SangEditor: JNAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *