Jelajahnusantara.co.id|Jakarta – Demokrasi Indonesia kembali dipertanyakan. Reporter CNN Indonesia, Diana Valencia, dicabut kartu persnya oleh Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden hanya karena berani bertanya soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto di Lanud Halim Perdanakusuma (27/9/2025).
Alasan yang dipakai sederhana, pertanyaan “di luar konteks acara”. Dalih yang terdengar konyol, namun sekaligus telanjang menunjukkan betapa kekuasaan semakin alergi terhadap kritik. CNN Indonesia sendiri membenarkan peristiwa ini dan menuntut penjelasan resmi dari Istana, sebab jurnalis yang kartu persnya dicabut otomatis kehilangan akses liputan.
MBG jelas bukan isu remeh. Program ini menyedot dana rakyat, dihantui kasus keracunan massal, dan dituding menjadi bancakan politik dapur eksternal. Menyoalnya berarti menyoal masa depan pangan dan ketahanan bangsa. Namun pertanyaan kritis justru diperlakukan sebagai ancaman.
Situasi ini mengingatkan pada pidato Bung Karno tahun 1955, ketika ia berpesan: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Pers adalah alat revolusi, penyambung lidah rakyat. Kalau pers dibungkam, maka hilanglah suara rakyat, hilang pula semangat revolusi!”
Kata-kata Bung Karno kini terasa hidup kembali. Jika pers tidak diberi ruang untuk bertanya, rakyat kehilangan mata dan telinga mereka. Demokrasi berubah menjadi panggung monolog, di mana kekuasaan hanya bicara pada dirinya sendiri.
Hari ini kartu pers seorang jurnalis dicabut. Esok, bisa jadi kritik rakyat biasa juga diberangus. Pertanyaannya: apakah kita masih berani menyebut ini sebagai negara demokrasi, atau sudah bergeser menjadi negara yang menakuti pertanyaan?(sang)









