Jelajahnusantara.co.id| Jakarta – Harga telur ayam kembali terjun bebas di pasar rakyat. Demo besar di Jakarta yang menghambat distribusi hanya menambah luka lama. Peternak kecil terhimpit karena biaya pakan terus naik, sementara harga jual malah jatuh.
“Sekarang harga di kandang bisa di bawah Rp22 ribu per kilo. Padahal biaya pakan sudah Rp24 ribu. Kami rugi terus,” kata Samin, peternak asal Blitar.
Fenomena ini menggambarkan wajah suram pasar telur. Di Sumatra, peternak melepas produksi setiap hari agar telur tetap segar. Sebaliknya, di Jawa sebagian menahan stok hingga lima hari dengan harapan harga naik. Namun strategi itu berbalik arah: begitu barang dilepas bersamaan, pasar kebanjiran stok → harga makin anjlok.
“Baru sedikit pulih, langsung sradak-sruduk minta harga naik ugal-ugalan. Pasar malah drop lagi. Ini seperti orang sakit yang dipaksa kerja keras sebelum sembuh,” ujar seorang pedagang senior di Jakarta Barat.
Fenomena ini adalah contoh nyata cobweb effect atau siklus harga tak terkendali.
_Produksi inelastis_: ayam bertelur setiap hari, tak bisa dihentikan.
_Permintaan fluktuatif_: konsumen menahan beli saat harga tidak stabil.
_Spekulasi peternak_: menahan barang justru menciptakan banjir stok.
_Market failure_: tanpa intervensi negara, rakyat kecil jadi korban.
Pantauan siang ini, harga di komunitas barat Jakarta hanya Rp23.000–23.300 per kg, jauh di bawah ongkos produksi. Bila dibiarkan, peternak terancam bangkrut massal.
Bung Karno pernah berpesan:
“Jangan sekali-kali meninggalkan rakyat. Segenap produksi, segenap kekayaan, harus kembali untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir orang!”
Kata-kata ini kian relevan. Saat negara sibuk dengan hiruk-pikuk di ibu kota, peternak justru dibiarkan berjuang sendirian. Ironisnya, kedaulatan pangan bisa runtuh bila kelak rakyat Indonesia terpaksa bergantung pada impor telur asing.
Karena bagi rakyat kecil, telur bukan sekadar lauk. Ia adalah simbol hidup yang harus diperjuangkan.(JNAS).