Jelajahnusantara.co.id|Jakarta, – Internalisasi empat pilar kebangsaan—Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika—tidak semata menjadi ranah politik, tetapi juga kerangka teologis dan pedagogis yang penting bagi gereja serta lembaga pendidikan teologi. Pandangan ini mengemuka dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yang diselenggarakan di Sekolah Tinggi Teologi (STT) IKAT, Jakarta, Rabu (20/8/2025) pukul 09.00–13.00 WIB.
Kegiatan menghadirkan Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D., anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, sebagai narasumber utama. Hadir pula Pdt. Lenta Enni Simbolon, Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), serta Dr. Abdon A. Amtiran, M.Th., Direktur Pascasarjana STT IKAT, sebagai penanggap. Acara dipandu oleh Alvinny Runtunuwu, P. Pd.K. (dosen STT IKAI) dan Syella Kawet (Program Pascasarjana STT IKAT) sebagai MC.
Gereja di Tengah Kemajemukan
Dalam tanggapannya, Pdt. Lenta Enni Simbolon menekankan bahwa intoleransi yang masih terjadi di sejumlah daerah merupakan tantangan serius bagi kehidupan berbangsa. Menurutnya, gereja harus hadir dengan kesadaran bahwa ia berada di tengah masyarakat majemuk.
“Kerukunan harus menjadi prioritas tertinggi. Gereja tidak boleh melupakan dirinya ada di tengah kemajemukan. Bersahabatlah dengan lingkungan sekitar, termasuk dengan masjid-masjid terdekat. Hanya dengan cara itu keberagaman bisa terus dirawat, dan Indonesia dapat menapaki jalan menuju Indonesia Emas 2045,” ujarnya.
Kurikulum Teologi dan Kesadaran Kebangsaan
Sementara itu, Dr. Abdon A. Amtiran menegaskan bahwa pendidikan teologi memiliki tanggung jawab strategis dalam membentuk karakter bangsa. Menurutnya, empat pilar kebangsaan harus dipahami sebagai kerangka teologis dan pedagogis yang membentuk iman sekaligus kesadaran kebangsaan.
“Pendidikan teologi tidak cukup melahirkan lulusan cerdas secara akademik, tetapi juga harus menumbuhkan tanggung jawab kebangsaan. Internalisasi empat pilar menjadi bagian dari formasi iman yang bermuara pada karakter warga negara yang utuh,” jelasnya.
Pancasila sebagai Fondasi Bangsa
Dalam closing statement, Prof. Yasonna H. Laoly menekankan bahwa bangsa Indonesia tidak boleh melupakan jati dirinya. “Kita adalah orang Indonesia. Bangsa ini diperjuangkan bukan hanya dengan kritik dan gagasan, tetapi juga dengan pengorbanan dan tetesan darah. Karena itu, sekolah-sekolah pendidikan teologi berkewajiban merumuskan kurikulumnya agar membentuk kesadaran kebangsaan yang kokoh,” katanya.
Ia menegaskan, Pancasila merupakan dasar konstitusi, ideologi, sekaligus sejarah bangsa. “Mau tidak mau, kita harus menerimanya dan menghidupinya. Gereja pun harus menjadi bagian yang menyuarakan Indonesia, meredam potensi perpecahan, serta memperkuat identitas kebangsaan di tengah tantangan global,” tambah Yasonna.
Sinergi Iman dan Nasionalisme
Acara yang berlangsung hingga siang hari itu ditutup dengan ajakan bersama untuk memperkuat sinergi iman dan nasionalisme. Gereja, lembaga pendidikan teologi, dan negara diharapkan berjalan seiring dalam membangun bangsa yang adil, damai, dan bermartabat.
Reporter: JNAS.