Jelajahnusantara.co.id|Jakarta, 25 September 2025 – Gelombang perlawanan terhadap politik elektoral yang kian dikuasai oligarki mulai menggema. Partai-partai nonparlemen, yang selama ini tersisih oleh aturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), resmi mendirikan Sekretariat Bersama (Sekber) Gerakan Kedaulatan Suara Rakyat. Targetnya jelas: menumbangkan PT 4 persen yang dianggap sebagai mesin pembunuh suara rakyat.
Sekjen Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Sri Mulyana, menegaskan bahwa PT adalah instrumen dominasi partai besar untuk menyingkirkan rakyat dari ruang representasi.
“Demokrasi sudah dipasung. Lebih dari 17 juta suara rakyat pada Pileg 2024 dibuang begitu saja hanya karena tidak lolos angka 4 persen. Itu bukan sekadar teknis pemilu, itu kejahatan politik. PT adalah senjata oligarki agar kursi DPR tetap dikuasai oleh partai-partai mapan,” tegasnya.
Sekber menyoroti kebiasaan DPR yang mengubah aturan pemilu di detik-detik terakhir. Praktik itu, menurut Sri Mulyana, hanyalah cara lama elite untuk menjaga privilese politiknya.
“Setiap menjelang pemilu, aturan diutak-atik untuk menguntungkan yang sudah berkuasa. Lalu jutaan rakyat yang sudah mencoblos dikhianati. Inilah wajah asli demokrasi formal kita: rakyat dipanggil lima tahun sekali, suaranya dihitung, lalu dibuang. Rakyat dijadikan statistik, bukan penentu kebijakan,” ujarnya.
Sri Mulyana menegaskan bahwa tuntutan PT 0 persen bukan sekadar politis, tapi juga berbasis teori demokrasi modern. Ia mengutip prinsip political equality dari Robert Dahl yang menyatakan bahwa setiap warga negara harus memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan.
“Jika 17 juta suara rakyat dihilangkan hanya karena aturan ambang batas, itu jelas melanggar prinsip kesetaraan politik. Demokrasi yang sehat tidak boleh mendiskriminasi suara minoritas hanya karena kalah dalam persentase,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia merujuk teori fair representation dari Giovanni Sartori, yang menekankan bahwa demokrasi harus memastikan representasi proporsional bagi semua kelompok masyarakat.
“Kalau aturan pemilu justru menghapus suara rakyat, demokrasi kita hanya prosedural, kehilangan substansinya. Representasi yang adil berarti setiap suara dihitung, tidak ada yang tersingkir karena angka semu,” imbuhnya.
Sri Mulyana juga menyinggung pengalaman negara lain yang memiliki sistem pemilu lebih inklusif. Misalnya, Belanda menerapkan sistem proporsional murni tanpa ambang batas tinggi, memungkinkan partai kecil masuk parlemen sesuai persentase suara. Begitu pula Jerman, dengan ambang batas rendah 5 persen, tetap menjamin representasi proporsional tanpa menyingkirkan suara rakyat terlalu banyak.
“Bandingkan dengan Indonesia, di mana 17 juta suara rakyat hangus karena PT 4 persen. Kita bisa belajar dari negara-negara demokratis modern: representasi politik seharusnya adil, tidak meminggirkan suara minoritas. PT 0 persen adalah langkah untuk menyelaraskan praktik kita dengan prinsip demokrasi global,” jelasnya.
Sekber mendesak DPR segera melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang menegaskan PT inkonstitusional. Menurut Sri Mulyana, PT 0 persen adalah jalan keluar agar demokrasi kembali ke prinsip kesetaraan politik.
“Kalau suara rakyat terus disaring oleh angka, demokrasi akan mati di tangan para elite. PT 0 persen bukan sekadar tuntutan teknis, tapi perjuangan politik melawan oligarki. Semua suara, sekecil apapun, berhak hidup di parlemen,” katanya.
Data menunjukkan lebih dari 17,3 juta suara rakyat pada Pemilu 2024 hangus hanya karena aturan PT. Sri Mulyana menyebutnya sebagai bukti telanjang betapa demokrasi telah diperkosa oleh angka-angka buatan elite.
“Rakyat yang datang ke TPS membawa harapan, tetapi pulang dengan kekecewaan. Suara mereka hilang, bukan karena kalah bersaing, tapi karena dilarang masuk oleh pagar angka. Demokrasi di negeri ini terasa sempit: hanya segelintir partai yang menentukan arah bangsa, sementara jutaan suara rakyat dipinggirkan,” tegasnya.
Dengan lahirnya Sekber, parpol nonparlemen menegaskan diri sebagai barisan tandingan oligarki pemilu. Mereka ingin mengembalikan politik ke tangan rakyat, bukan angka-angka buatan elite Senayan.
“Ini bukan sekadar perjuangan partai kecil. Ini perjuangan rakyat melawan sistem yang menyingkirkan mereka. Demokrasi harus dikembalikan ke maknanya: rakyat berdaulat, bukan elite berkuasa,” pungkas Sri Mulyana.(sang)









