tours
WhatsApp Image 2025-07-16 at 11.57.32_1087950a
previous arrow
next arrow

PPPK dan Hari Hak untuk Tahu: Saat BKD dan DPRD Maluku Barat Daya Main Mata dengan Informasi Publik

Jelajahnusantara.co.id| Maluku Barat Daya, 28 September 2025 — Di tengah hiruk-pikuk wacana reformasi birokrasi, masyarakat Maluku Barat Daya diingatkan kembali tentang hak mendasar mereka: hak untuk tahu. Momentum Hari Hak untuk Tahu Sedunia (International Right to Know Day) yang jatuh tepat hari ini menjadi alarm keras atas praktik gelap informasi di tubuh Pansus dan BKD Maluku Barat Daya, terutama terkait polemik pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Pasal 28F UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Namun, hak konstitusional ini kerap tereduksi menjadi jargon kosong ketika badan publik menutup rapat-rapat akses informasi. Padahal, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menggariskan secara terang: masyarakat berhak melihat, mendengar, dan mengetahui informasi publik.

“Masalah PPPK di Maluku Barat Daya adalah cermin klasik bagaimana elit politik lokal gagal memahami amanat konstitusi. Mereka berdebat tanpa literasi, menutup diri dari partisipasi publik, lalu membiarkan rakyat jadi korban,” kata Fredi Moses Ulemlem, pengamat politik dan hukum.

Menurutnya, perlawanan mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) terhadap praktik tertutup DPRD MBD hari ini bukanlah kebetulan. “Ini simbol perlawanan rakyat terhadap politik gelap informasi. Momentum ini pas, karena bertepatan dengan Hari Hak untuk Tahu Sedunia. Di sinilah rakyat sedang menagih transparansi,” tambahnya.

Kajian ilmu politik menegaskan bahwa keterbukaan informasi adalah instrumen penting untuk mengontrol kekuasaan. Menurut theory of accountability, badan publik tanpa transparansi akan melahirkan oligarki birokrasi. Dalam konteks MBD, ketiadaan transparansi dalam pengelolaan PPPK justru memperlebar jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif.

Secara sosiologis, rendahnya literasi birokrasi menciptakan stagnasi pengambilan keputusan. Ketika informasi ditutup, kebijakan lahir bukan dari data, melainkan dari kepentingan kelompok sempit. Inilah yang oleh ilmuwan politik disebut sebagai knowledge deficit governance — pemerintahan yang gagal karena miskin informasi dan miskin empati.

Selain kerangka hukum dan teori politik, pesan moral dari tradisi religius ikut disuarakan: pemimpin tanpa penasihat dan tanpa keterbukaan adalah jalan menuju kehancuran bangsa. “Bangsa akan hancur jika tak ada pimpinan; semakin banyak penasihat, semakin terjamin keselamatan” (Amsal 11:14). Pesan ini menohok praktik kepemimpinan lokal yang lebih sibuk menutup informasi ketimbang melayani masyarakat.

Fredi Moses menegaskan, “Pemimpin yang melayani adalah mereka yang membuka diri terhadap kritik rakyat. Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban. Menutup informasi sama artinya dengan merampas hak asasi manusia.”(JNAS).

Penulis: JNASEditor: JNAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *